
Dalam pusaran arus informasi yang begitu cepat, kebenaran kini tampak seperti komoditas langka. Setiap hari, media sosial dan portal berita dibanjiri oleh ribuan informasi baru, namun tidak semuanya benar. Sebuah riset dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) tahun 2018 menunjukkan bahwa berita palsu menyebar enam kali lebih cepat dibandingkan berita benar (Tanti, 2020) . Fenomena ini menandai pergeseran besar dalam cara manusia mengonsumsi informasi: dari membaca untuk memahami, menjadi berbagi tanpa berpikir. Sementara itu, kebebasan pers yang seharusnya menjadi pilar demokrasi justru kerap dibayang-bayangi oleh kepentingan ekonomi, algoritma media, dan ketidaktransparanan digital. Di tengah arus informasi yang kian deras, krisis kepercayaan publik terhadap media semakin menguat. Data Reuters Institute (2023) menunjukkan bahwa hanya 39% masyarakat Indonesia yang masih mempercayai berita yang mereka baca secara online. Fenomena ini diperparah oleh ledakan disinformasi dan berita palsu yang beredar cepat melalui media sosial. Sementara itu, di era Society 5.0 teknologi bukan hanya alat tetapi juga ruang hidup manusia, integritas informasi menjadi fondasi peradaban
digital.
Teknologi Blockchain
Teknologi Blokchain merupakan sistem pencatatan digital yang tidak bisa diubah atau dimanipulasi. Setiap data yang masuk akan tersimpan dalam blok yang saling terhubung dan diverifikasi oleh banyak pihak, tanpa otoritas tunggal (Chic, 2024). Transparansi inilah yang menjadikan blockchain istimewa. Ia bukan hanya alat transaksi, tetapi sistem kepercayaan. Jika dulu kita mempercayai lembaga, kini kita mempercayai mekanisme. Dalam konteks ini, blockchain dapat menjadi fondasi bagi pers yang merdeka dan ekonomi yang berdaya dua pilar penting untuk menghadapi era Digital 5.0 yang mengedepankan kolaborasi manusia dan teknologi.
Urgensi penerapan blockchain dalam dunia jurnalistik
Urgensi penerapan blockchain dalam dunia jurnalistik sangat relevan. Saat ini, kecepatan publikasi seringkali mengalahkan akurasi. Berita hoaks, manipulasi foto, dan penyalahgunaan data semakin marak. Survei Edelman Trust Barometer 2024 bahkan mencatat hanya 45 persen masyarakat Indonesia yang masih mempercayai media daring. Blockchain dapat menawarkan solusi yang konkret. Setiap berita yang dipublikasikan dapat disertai hash digital unik yang menunjukkan sumber, waktu, dan identitas penulisnya. Dengan sistem ini, publik bisa menelusuri keaslian informasi tanpa bergantung pada satu institusi. Dalam jangka panjang, teknologi ini bisa membangun kembali trust ecosystem antara media, jurnalis, dan masyarakat.
Namun, dibandingkan negara lain, Indonesia masih tertinggal dalam adopsi blockchain. Negara seperti Estonia telah lebih dulu menerapkan blockchain untuk mengamankan data warga dan administrasi pemerintahan sejak tahun 2012 (Suaib, 2025). Amerika Serikat melalui proyek Civil pernah mengembangkan platform berita berbasis blockchain untuk menjaga kredibilitas konten (Kiki, 2024). Singapura bahkan telah mengintegrasikan blockchain dalam sistem ekonomi kreatifnya untuk menjamin transparansi antara pelaku usaha dan konsumen. Sementara itu, di Indonesia, blockchain masih sering disalahartikan semata sebagai instrumen investasi kripto yang spekulatif, bukan sebagai ekosistem transparansi digital (Tarumingkeng, 2025).
Faktor Penyebab
Ada beberapa penyebab mengapa hal ini terjadi, yakni: (1) rendahnya literasi digital tingkat lanjut, baik di kalangan jurnalis maupun pelaku UMKM, membuat blockchain sulit diterjemahkan ke dalam praktik nyata. (2) regulasi nasional belum cukup progresif. Pemerintah baru mengatur blockchain sebatas konteks aset kripto melalui Bappebti, tanpa kerangka etika digital yang lebih luas. (3) kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, dan industri masih berjalan sendiri-sendiri. Padahal, kolaborasi adalah kunci untuk mengintegrasikan blockchain dalam skema kebijakan publik.
Dengan lebih dari 210 juta pengguna internet aktif (We Are Social, 2024), Indonesia memiliki ekosistem digital yang luas. Jika blockchain diterapkan dalam sistem pers nasional setiap berita memiliki identitas digital yang diverifikasi, arsip media tidak dapat dihapus secara sembarangan, dan hak cipta jurnalis terlindungi secara otomatis. Publik tidak hanya menjadi konsumen berita, tetapi juga bagian dari rantai transparansi informasi.
Blockchain sebagai Arsitektur Kepercayaan Baru
Namun, di sinilah blockchain hadir bukan sekadar sistem untuk aset kripto seperti Bitcoin atau Ethereum, tetapi
sebagai arsitektur kepercayaan baru. Teknologi ini bekerja layaknya buku besar digital (digital ledger) yang mencatat setiap transaksi data dalam blok-blok yang saling terhubung dan tidak dapat diubah. Setiap perubahan harus diverifikasi oleh banyak pihak (node), sehingga keaslian dan jejak digital selalu terjaga.
Teknologi blockchain hadir bukan hanya sebagai inovasi finansial, melainkan sebagai infrastruktur moral bagi dunia digital yang membutuhkan transparansi, integritas, dan akuntabilitas khususnya bagi pers yang merdeka dan ekonomi yang berkelanjutan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pers yang ideal yakni bebas, mandiri, dan bertanggung jawab kini menghadapi tantangan besar. Algoritma media sosial, klikbait yang mengejar sensasi, dan ekonomi perhatian membuat peran jurnalis seringkali bergeser dari pengawal kebenaran menjadi penyaji konten viral.
Survei Edelman Trust Barometer Indonesia 2023 menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap institusi media dan bisnis menurun secara signifikan. Situasi ini menimbulkan urgensi untuk mencari mekanisme baru yang menempatkan kredibilitas sebagai inti dari sistem informasi digital. Teknologi blockchain menawarkan sebuah jawaban. Secara sederhana, blockchain adalah sistem pencatatan digital terdistribusi (distributed ledger) di mana
setiap transaksi atau data dicatat dalam blok yang saling terhubung dan diverifikasi oleh banyak pihak atau node yang saling memeriksa keaslian data tersebut. Setelah data tercatat, sangat sulit untuk modal mengubahnya tanpa jejak. Transparansi dan permanensi inilah yang menjadikannya menarik. Bukan hanya soal kecepatan atau efisiensi, tetapi soal kejujuran digital.
Jika setiap berita yang diterbitkan sebuah media memiliki sidik digital waktu publikasi, identitas penulis, sumber data, semua tercatat dalam blockchain. Publik bisa mengecek sendiri: “Apakah berita ini pernah direvisi?”, “Siapa sumber aslinya?”, “Apakah ada transaksi tersembunyi di balik publikasi ini?” Dengan mekanisme semacam ini, publik tidak hanya menjadi penerima pasif informasi, melainkan juga bagian dari sistem transparansi. Dalam ekonomi digital, blockchain memungkinkan transaksi yang bisa dilacak dari hulu hingga hilir artinya pelaku usaha
kecil seperti UMKM atau kreator konten bisa mendapatkan kepercayaan publik tanpa harus bergantung pada platform besar atau perantara yang seringkali menimbulkan ketidakadilan.
Kesimpulan
Blockchain bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi sistem kepercayaan baru yang mampu merevolusi cara kita memahami transparansi dan integritas dalam dunia digital. Dalam konteks jurnalistik, blockchain membuka peluang bagi lahirnya pers yang benar-benar merdeka, di mana setiap berita memiliki identitas digital yang tak
dapat diubah, dan kepercayaan publik dibangun bukan karena otoritas, melainkan karena bukti yang diverifikasi bersama. Di tengah derasnya arus disinformasi dan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap media, blockchain hadir sebagai jembatan etika baru yang menghubungkan teknologi dengan nilai kebenaran.
Untuk menjadikan blockchain sebagai pilar etika dan transparansi digital di Indonesia, diperlukan strategi bertahap dan kolaboratif lintas sektor. Pemerintah bersama Kominfo dan Dewan Pers perlu membentuk Digital Trust Framework Nasional, yaitu sistem verifikasi berbasis blockchain yang mampu memastikan keaslian sumber berita dan melindungi jurnalis independen dari ancaman disinformasi. Kolaborasi antara akademisi, startup, dan media juga menjadi kunci untuk membangun prototype blockchain journalism yang bisa diuji coba di portal berita publik.
Upaya ini harus dibarengi dengan penguatan etika dan literasi digital 5.0, agar generasi muda tidak hanya memahami teknologi, tetapi juga nilai moral di balik penggunaannya. Dengan literasi yang matang, masyarakat dapat berperan bukan hanya sebagai konsumen informasi, tetapi juga sebagai penjaga integritas digital bangsa.
Jika langkah-langkah ini dijalankan dengan konsisten, Indonesia dapat membangun ekosistem pers yang kredibel, terbuka, dan berkeadilan. Blockchain bukan lagi sekadar simbol kemajuan digital, melainkan fondasi moral baru bagi kebebasan pers dan etika digital yang berkelanjutan. Ia menjadi bukti bahwa di era Digital 5.0, teknologi tidak harus menggantikan manusia tetapi justru menguatkan nilai-nilai kemanusiaan: kebenaran, kejujuran, dan tanggung jawab.
REFERENSI
- Ayuni, A. D., & Asmarudin, I. (2024). Penggunaan Blockchain dalam Pengelolaan Data: Studi Perbandingan Indonesia dan Singapura.
- Batubara, R. S., & Julyanda, R. (2025). Meningkatkan Privasi dan Kepercayaan dalam Platform Media Sosial: Penerapan Teknologi Blockchain dan Pendekatan Kualitatif.
- Chic, S. A., & Bilqisthi, M. F. (2024). Tantangan dan Peluang Blockchain di Era Digital dalam Bidang Keamanan Data dan Transaksi Digital.
- Kadly, E. I., Rosadi, S. D., & Gultom, E. (2021). Keabsahan Blockchain-Smart Contract Dalam Transaksi Elektronik: Indonesia, Amerika Dan Singapura.
- Kiki Kristanto, S. H., Nurjamil, S. H. I., & Joanita Jalianery, S. H. (2024). Transformasi hukum dalam era revolusi teknologi blockchain.
- Sari, A. N., & Gelar, T. (2024). Blockchain: Teknologi Dan Implementasinya.
- Sofyan, H., Harto, B., Sanjayyana, A. R., & Wirasujatma, M. (2023). Studi Literatur Review Fintech dalam Mendukung Transformasi.
- Suaib, H. E. (2025). KEAMANAN SIBER DAN PERLINDUNGAN DATA. Digital Governance: Konsep, Strategi dan Implementasinya di Indonesia, 89.
- Tanti, D. S., & Hidayat, M. T. (2020). Ragam dan pola sebaran hoaks jelang pemilihan umum serentak tahun 2019. Jurnal Visi Komunikasi, 19(1), 34- 50.
- Tarumingkeng, I. R. C. (2025). Blockchain dan cryptocurrency: Masa depan ekonomi digital.
Penulis: Kristo Permana Sitohang